Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie bersuara soal 'insiden es
tebu'. Melalui akun Twitternya, @aburizalbakrie, dia menilai pemberitaan
insiden es tebu adalah kesalahpahaman.
"@D4rm4nsy4h sy tdk minum es tebu seperti yg ditulis disitu. Sy
cek ke panitia jg sudah dibayar. Kesalahpahaman saja," kata Ical, sapaan
Aburizal, Rabu, 6 November 2013.
Ical menulis hal tersebut mengomentari pemilik akun @D4rm4nsy4h yang menulis supaya Ical memastikan pembayaran es tebu tersebut. "@D4rm4nsy4h cek lagi Pak, siapa tahu panitianya ngakunya sudah
bayar padahal belum. Dan nama anda dirugikan."
'Insiden es tebu' ini bermula saat Ical, sapaan Abu Rizal bakrie,
makan bersama sekitar 50 tukang sapu dan ojek pada Senin, 4 November
2013. Acara makan-makan ini berlangsung di Rumah Makan Munir di Thehok,
Kota Jambi. Selain makan di restoran tersebut, mereka juga menikmati es
tebu yang dijajakan penjual dengan gerobak yang kebetulan ada di depan
restoran.
Namun usai makan, tak satu pun orang yang membayar penjual es
tebu tersebut. Penjual es tebu pun akhirnya pontang-panting meminta pembayaran
rombongan Ical ini. Menurut Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Indra Jaya
Piliang, melalui akun Twitternya @IndraJPiliang, panitia telah membayar Rp 110 ribu ke penjual es tebu tersebut.
Memang kapanpun dan dimanapun, rakyat kategori wong cilik senantiasa
jadi objek. Suatu saat mereka bisa dijadikan sebagai objek kesuksesan
sebuah episode drama televisi/film. Suatu saat bisa juga dijadikan objek
untuk meningkatkan lumbung suara/dukungan politik, meskipun harus
dengan mengorbankan wong cilik lain yang bahkan mungkin eksistensinya
tak perlu dianggap ada. Hal yang sama terjadi pada Acit, seorang penjual
es tebu kaki lima didepan sebuah restoran di Jambi.
Tak terpikir baginya bahwa dihari itu 4 Nopember 2013 adalah peristiwa
membanggakan dalam sejarah hidupnya bisa bertemu ARB yang selama ini
hanya bisa disaksikan dilayar kaca (khususnya siaran TV One dan ANTV)
yang selama ini pemberitaan pencalonan sebagai RI-1-2014 begitu masive.
Bukan hanya bisa bertemu langsung, tapi hasil dagangannyapun saat itu
ludes diborong rombongan DPP dan DPD partai kuning yang saat itu usai
menghadiri pelantikan Walikota terpilih Jambi.
Alih-alih mendapatkan pembayaran atas 90 gelas es tebu dagangannya yang
semestinya bisa didapat dalam waktu singkat tanpa harus berkeliling
dengan kucuran keringat, si Acid malah diombang-ambing untuk mendapatkan
haknya. Lebih menyakitkan lagi setelah kesana-kemari meminta kejelasan
pembayaran dan harus mengalami pengusiran, ternyata seluruh hasil
dagangnnya dengn mudahnya hanya dihargai Rp.50ribu hanya berdasarkan
asumsi sepihak.
Apakah semestinya wong cilik harus
diperlakukan demikian? Meskipun memang ada wong cilik lain (tukang
ojek) yang menikmati keuntungan menyeduh es tebu secara gratis. Inilah politik, yang selalu menjadikan kaum marjinal sebagai objek. Akankah kita pilih pemimpin yang demikian?.
Thursday, November 7, 2013
Wednesday, November 6, 2013
Budaya Setiap Habis Pergantian Kapolri, Banyak Bener 'Tukang Tilang'
Sejak Kapolri Jendral Pol Sutarman menggantikan Timur Pradopo,
sepertinya budaya 'setoran' sekaligus 'cari muka' tumbuh subur
dan cenderung dijadikan 'budaya
permanen'. Contohnya, adalah 'tukang tilang' ada dimana-mana, dan tidak
peduli hari libur, kebut terus, kejar setoran. Busyet dagh.
Bang Caca setiap hari nyaris kena, dan selalu pada hari libur kena tilang. Karena, Bang Caca ndak pernah disiplin dan ndak punya Surat Ijin Mengemudi (SIM) hampir lebih dari 15 tahun, maka selalu kena tilang deh. Biasanya, kalau ndak ada pergantian Kapolri, hanya cukup menunjukan kartu PERS, sudah lolos dari kejaran tilang. Namun, selama seminggu ini, kartu PERS sepertinya ndak sakti lagi.
Hari Sabtu 2 November kena tilang, terus 3 November kembali kena tilang, dan terakhir Selasa 5 November kena tilang lagi. Namun semuanya ndak mungkin disidang, lha wong Bang Caca 'nyogok' dengan doku 'gocap ceng' untuk sekali dirazia.
Ngemeng-ngemeng dari beberapa teman anggota polisi, Bang Caca mendapat informasi, bahwa budaya pergantian Kapolri atau Kapolda, biasanya para anggotanya khususnya di lalu lintas akan melakukan 'kebut gunung' untuk melakukan operasi lalu lintas (kroyokan).
Tujuannya ada dua, pertama: para komandannya ingin menunjukkan kinerjanya kepada atasan yang baru agar mendapat perhatian bisa naik pangkat atau naik jabatan. Kedua: jika ada Kapolri atau Kapolda baru, biasanya para komandan-komandan dibawahnya berlomba-lomba mencari muka sekaligus memberi 'setoran' kepada atasan barunya, agar mendapat perhatian nantinya.
Menurut Anda gimana?
Bang Caca setiap hari nyaris kena, dan selalu pada hari libur kena tilang. Karena, Bang Caca ndak pernah disiplin dan ndak punya Surat Ijin Mengemudi (SIM) hampir lebih dari 15 tahun, maka selalu kena tilang deh. Biasanya, kalau ndak ada pergantian Kapolri, hanya cukup menunjukan kartu PERS, sudah lolos dari kejaran tilang. Namun, selama seminggu ini, kartu PERS sepertinya ndak sakti lagi.
Hari Sabtu 2 November kena tilang, terus 3 November kembali kena tilang, dan terakhir Selasa 5 November kena tilang lagi. Namun semuanya ndak mungkin disidang, lha wong Bang Caca 'nyogok' dengan doku 'gocap ceng' untuk sekali dirazia.
Ngemeng-ngemeng dari beberapa teman anggota polisi, Bang Caca mendapat informasi, bahwa budaya pergantian Kapolri atau Kapolda, biasanya para anggotanya khususnya di lalu lintas akan melakukan 'kebut gunung' untuk melakukan operasi lalu lintas (kroyokan).
Tujuannya ada dua, pertama: para komandannya ingin menunjukkan kinerjanya kepada atasan yang baru agar mendapat perhatian bisa naik pangkat atau naik jabatan. Kedua: jika ada Kapolri atau Kapolda baru, biasanya para komandan-komandan dibawahnya berlomba-lomba mencari muka sekaligus memberi 'setoran' kepada atasan barunya, agar mendapat perhatian nantinya.
Menurut Anda gimana?
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)